Bagaimana kalau sebaliknya? Jika ia ternyata tidak mendapatkan nilai 100, maka ketika ia melihat teman-teman yang lainnya mendapatkan nilai 100 maka ia akan melihat dirinya sebagai anak yang bodoh. Semakin ia sering memikirkan dirinya yang bodoh, semakin negatif pula emosi yang dirasakannya (harga diri negatif). Ia akan merasa minder, malu, frustasi, dan tidak percaya diri.
Terus apa hubungannya dengan orang tua? Kebanyakan orang tua tidak pernah di didik untuk melihat kegagalan sebagai suatu proses untuk meraih kesuksesan. Kegagalan dipandang sebagai hal yang tabu dan memalukan. Pada dasarnya orang tua yang seperti ini adalah orang tua yang juga memiliki citra diri dan harga diri yang negatif. Karena ia tidak ingin dipermalukan dan merasa malu, maka kebanyakan orang tua akan cenderung menetapkan diri ideal yang terlalu tinggi bagi anak-anaknya. Sang anak akan cenderung diharapkan (lebih tepat dipaksa) untuk selalu memenuhi semua harapan prestasi orang tuanya. Dan sangat sering penetapan diri ideal yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya adalah diri ideal yang terlalu tinggi. Semua anaknya harus memenuhi target yang telah ditetapkan setinggi-tingginya.
Apa yang terjadi kemudian? Ketika sang anak berhasil memenuhi target yang ditetapkan, maka orang tua pasti akan merasa bangga. Ia ingin menutupi harga dirinya yang negatif dengan berlindung dibalik prestasi anaknya. Harga dirinya pun akan menjadi positif. Anak-anak yang demikian pastilah anak-anak yang menjadi kebanggaan orang tua, dan sangat disayangi. Jika orang tua bercerita kepada orang lain tentang anak-anaknya, maka dapat dipastikan bahwa hanya anak yang membuat bangga dirinya saja yang paling sering diceritakan. Dengan bercerita kepada orang lain tentang prestasi anaknya, ia ingin menunjukkan bahwa citra diri dan harga dirinya pun menjadi lebih positif.
Ketika sebaliknya yang terjadi, sang anak ternyata belum mampu memenuhi target yang ditetapkan orang tua. Apa yang akan terjadi? Karena pada dasarnya sang orang tua juga memiliki citra diri dan harga diri yang negatif, maka sangat besar kemungkinan semua kesalahan itu akan ditimpakan kepada anaknya. Sang orang tua merasa malu dengan melihat prestasi anaknya yang pas-pasan. Sang orang tua tidak melihat hal itu sebagai bagian dari proses mencapai kesuksesan, tetapi dilihat sebagai penyebab malu di keluarga. Maka sudah dapat dipastikan, sang orang tua akan memarahi anaknya habis-habisan.
Sang anak yang sudah dari awal memiliki citra diri negatif karena melihat prestasinya sendiri yang pas-pasan, kini semakin diperparah dengan omelan dan hinaan yang diberikan oleh orang tuanya. Jenis-jenis omelan yang dilakukan orang tua dapat kita kategorikan sebagai berikut:
- Memberi label bodoh pada anak. Hal pertama yang paling sering diomelkan oleh orang tua kepada anaknya adalah menyebut dirinya bodoh. Semakin sering label bodoh ini disebutkan, maka semakin sering pula penegasan ”bodoh” pada diri sang anak terjadi. Sang anak lama-lama akan semakin percaya bahwa dirinya memang bodoh.
- Melakukan perbandingan. Ketika sudah mengomel habis-habisan dengan memberi label bodoh, maka sering pula diikuti dengan membandingkan anak sendiri dengan anak tetangga, atau anak keluarga sendiri, atau saudara anaknya sendiri. Bisa Anda rasakan bagaimana hancurnya hati seorang anak ketika selalu dibanding-bandingkan dengan orang lain. Saya sendiri yakin, sang orang tua pun tak suka dibanding-bandingkan oleh anaknya dengan orang tua yang lain.
- Membuat kesan tidak mengakui sang anak sebagai anaknya. ”Kamu anak siapa sih? Dulu mama dan papa tidak seperti kamu.” Jenis kalimat ini juga sering diucapkan oleh orang tua kepada anaknya. Tanpa orang tua sadari, jenis kalimat ini akan diartikan oleh pikiran bawah sadar sang anak sebagai tidak diakui dirinya sebagai anak.